Hukum Meminta Mahar yang Mahal | Mahar yang Terlalu Mahal
Islam bukan agama yang materialistis. Akhirakhir ini, banyak orang
berlombalomba meminta mahar dalam jumlah besar. Ketika mereka keluar dari
sebuah akad nikah, yang mereka bicarakan adalah berapa mahar yang diberikan
oleh sang suami kepada istrinya. Mereka seakanakan baru saja keluar dari
pelelangan dan melakukan tawar menawar harga. Perempuan bukanlah barang yang
bisa diperjual belikan dalam “pasar pernikahan.” Selain itu, menetapkan mahar
yang terlalu mahal dapat menyebabkan halhal buruk berikut ini:
- Banyak pemudapemudi yang tidak bisa menikah.
- Menyebarnya kerusakan akhlak di kalangan para pemuda. Ketika mereka merasa tidak bisa menikah, mereka pun akan mencari caracara lain untuk melampiaskan hasrat biologis mereka.
- Munculnya penyakitpenyakit kejiwaan di antara mereka lantaran frustasifrustasi yang merusak.
- Seorang wali akan menolak menikahkan anak perempuan yang berada dibawah perwaliannya dengan lelaki saleh hanya karena ia idak mampu membayar mahar yang mahal. Wali tersebut akan cenderung memiliki lelaki lain yang lebih kaya meskipun ia memiliki agama yang tidak terpuji. tentu saja kebahagiaan perempuan tersebut dipertaruhkan.
- Seorang lelaki akan merasa dibebani dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Akibatnya, akan timbul di hatinya dendam dan kebencian terhadap perempuan tersebut beserta keluarganya.
Dengan segala dampak negatif di atas, bagaimanakah hukum menetapkan
mahar yang mahal menurut syariat? Berdasarkan dalildali yang ada, pandangan
syariat terhadap praktik tersebut dapat dirumuskan dalam poinpoin berikut:
Pada dasarnya, meringankan beban mahar dan tidak mentapkan harga
yang terlampau tinggi lebih dianjurkan oleh syariat.
Rasulullah Saw. bersabda,
ﻩﺮﺴﻳﺃ ﻕﺍﺪﺼﻟﺍ ﺮﻴﺧ
“Sebaikbaiknya mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Hakim)
Setelah mencantumkan beberapa hadits mengenai mahar, Ibnu alQayyim
menulis, “Haditshadits itu menunjukkan bahwa menetapkan mahar yang terllau
mahal dalam pernikahan makruh hukumnya. Praktik itu juga kan menghilangkan
sebagian berkah dari mahar tersebut dan mempersulit pernikahan.”
Umar ibnu alKhatthab berkata, “Sungguh, jangan kalian
memberikan mahar yang terlalu mahar kepada perempuan! Jika perbuatan itu
membawa kemuliaan di dunia dan menambah ketakwaan kepada Allah Swt. maka
Rasulullah yang paling berhak atas itu semua. Padahal beliau tidak pernah
memberi mahar kepada istriistri beliau lebih dari 12 uqiyah (1 uqiyalaluh = 40
dirham). Demikian pula mahar yang diterima oleh putriputri beliau.”
Seorang lakilaki yang membayar mahar terlalu mahal kepada istrinya
barangkali akan merasakan kebencian dalam dirinya, sehingga ia berkata, “Aku
dibebani terlalu berat oleh kalian.”
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seorang ayah menetapkan mahar untuk
putrinya lebih besar dari mahar putriputri Rasulullah Saw. paadahal mereka
adalah perempuanperempuan terbaik di dunia dari segi sifat dan kedudukan, maka
ia adalah lelaki yang sangat bodoh dan dungu. Mahar yang sedikit mahal boleh
diberikan oleh lelaki yang mampu dan berkecukupan. Sedangkan lelaki yang miskin
tidak diharuskan untuk memberikan mahar di luar batas kemampuannya”.
Jika mahar yang mahal itu menjadi beban bagi calon suami dan berada
diluar kemampuannya, maka permintaan itu tercela.
Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Yahya bin
Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim AtTaimi dari Ibnu Abu Hadrah Al Aslami dia
mendatangi Nabi Shallallahu'alaihiwasallam untuk meminta fatwa tentang mahar wanita. Lalu
beliau bersabda: "Berapa
kamu memberinya mahar?"
dia menjawab, dua ratus
dirham. Maka (Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam) bersabda: "Kalaupun harta tersebut dapat
kalian tambang di Bathan, kalian sebaiknya tidak membayar lebih dari itu."
(HR. Ahmad dan Baihaqi)[1]
Pernyataan Rasulullah Saw. dalam hadits di atas harus dimaknai
dengan Abu Hadrad Al Aslami Radliyallahu ta'ala 'anhu mempertimbangkan kondisi
suami yang tidak mampu. Oleh karena itu, mahar putri dan istri beliau sendiri
lebih besar dari mahar yang diberikan oleh lelaki tersebut kepada istrinya.
Maka hal paling penting yang harus dipertimbangkan dalam penentuan mahar adalah
kondisi suami.
Jika suami itu kaya dan berkecukupan, maka ia boleh memberikan
mahar dalam jumlah besar kepada istrinya.
Diriwayatkan dari Sya’bi bahwa Umar ibnu alKhattab pernah
berkutbah di depan orangorang. Ia memuji dan mengagungkan Allah Swt. lalu
berkata, “Sungguh, jangan kalian memberikan yang terlalu mahal kepada
peremupan! Jika aku mendengar ada seseorang yang memberi mahar lebih besar dari
apa yang diberikan atau diterima oleh Rasulullah Swa., ma akan aku ambil
kelebihannya itu dan akan aku sumbangkan kepada baitul mall.”
Setelah mengucapkan hal itu, Umar turun dari mimbar. Tibatiba
seorang perempuan Quraisy menentangnya dan berkata, “Wahai Amirul Mu’munin!
Mana yang lebih pantas diikuti: Kitabullah ataukah perkataanmu?”
“Tentu saja Kitabullah,” jawab Umar, “Apa
maksudmu?”
“Engkau melarang oragorang untuk memberikan mahar yang terlalu
mahal padahal Allah Swt. berfrman dalam alQur’an, “.....sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.....” (anNisa’ [4]:
20)
“Kini, setiap orang memahami hukum Islam leih baik dari pada Umar,”
ujar Umar dua atau tigakali.
Umar pun kembali menaiki mimbar dan berkata, “Aku telah melarang
kalian untuk membayar mahar yang terlalu mahal kepada istriistri kalian. Kini
aku cabut kembali larangan tersebut. Setiap orang boleh menggunakan hartanya
dengan cara yang ia suka.”[2]
Manusia berbedabeda dalam tingkat kekayaan dan kemiskinan. Maka
kondisi finansial suami harus menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan
mahar. Ia tidak boleh diminta untuk membayar mahar di luar kemampuannya. Jika
lelaki itu mampu secara finansial, maka ia boleh memberikan mahar yang mahal,
kecuali jika hal itu dibarengi dengan niat menyombongkan diri. Jika ada niat
semacam itu di dalam hatinya, maka pemberian mahar yang mahal itu makruh.[3]
[1] No. Hadist:
15151 | Sumber: Ahmad | Kitab: Musnad penduduk Makkah | Bab: Hadits
[2] Kisah ini
diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Manshur dan Baihaqi.
[3] Abu Malik
Kamal, Terjemahan Fiqhus Sunah linNisa’, (Jakarta; Pena Pundi Aksara, cet.
Ke5, 2015). Hlm. 177180,
Post a Comment for "Hukum Meminta Mahar yang Mahal | Mahar yang Terlalu Mahal"
please use good language, if there is an active link in the comment will be deleted.