Toleransi Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain - Prinsip Kebebasan Beragama
![]() |
A. Prinsif
Kebebasan Beragama
Agama islam
tidak memaksa siapun untuk memeluk agama islam, sebagai mana di jelaskan dalam
al-qur’an dalam q.s Albaqarah ayat 256 :
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ
الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ
سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ٢٥٦
“Tidak
ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
(perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa
ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang
(teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar,
Maha Mengetahui.”
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa
tidak ada paksaan dalam hal beragama atau menganut keyakinan agama. Allah Swt menghendaki agar setiap orang
merasakan sebuah kedamaian. Kedamaian hanya akan diraih oleh sebuah ke ikhlasan
bukan paksaan.
Turun ayat tersebut sebagaimana
dinukil oleh Ibnu Kastir yang bersumber dari sahabat Ibnu ‘Abbās adalah seorang
laki-laki Ansar dari Bani Salim bin ‘Auf yang dikenal dengan nama Husain
mempunyai dua anak laki-laki yang beragama Nasrani. Sedangkan ia sendiri
beragama Islam. Husain menyatakan kepada Nabi sallalahu‘alaihi wa sallam.
“Apakah saya harus memaksa keduanya? (Untuk masuk Islam?), kemudian turunlah
ayat tersebut di atas.
Ayat yang slaras terdapat juga dalam
Surah Yunus ayat 99 s.d 100 :
وَلَوْ
شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ
تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ ٩٩ وَمَا
كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ
عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ ١٠٠
“Dan jika Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah
kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?
[99] Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah
menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti. [100]
Ayat di atas dengan tegas
mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk beriman atau tidak. Dan
untuk hal itu Allah menganugerahkan manusia potensi akal agar mereka
menggunakannya untuk memilih. Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa
segala bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak
dibenarkan oleh Al-Qur′an. Karena Allah hanya menghendaki iman yang tulus tanpa
pamrih dan paksaan. Seandainya paksaan itu diperbolehkan maka Allah sendiri
yang akan melakukan, dan seperti dijelaskan dalam ayat di atas Allah tidak
melakukannya. Maka tugas para nabi adalah hanya untuk mengajak dan memberikan
peringatan tanpa paksaan sedikitpun.
Pada ayat di atas terdapat klausa
yang awalnya ditujukan kepada Nabi Muhammad. Yaitu, afa anta
tukrihun-nāsa/apakah engkau memaksa manusia. Hal itu dipaparkan oleh Al-Qur′an
terkait dengan sikap Nabi Muhammad SAW yang secara sungguh-sungguh ingin
mengajak manusia semua beriman, bahkan sikap beliau terkadang berlebihan dalam
arti di luar batas kemampuannya, sehingga hampir mencelakakan diri sendiri.
Penggalan ayat di atas dari satu sisi menegur Nabi Muhammad SAW dan orang yang
bersikap dan melakukan hal serupa, dan dari sisi yang lain memuji
kesungguhannya.
Kaitan ini diliput oleh Al-Qur’an
dalam ayat yang lain, dalam Surah al-Kahfi Ayat 6, Allah Swt berfirman :
فَلَعَلَّكَ
بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ
اَسَفًا ٦
“Maka barangkali engkau
(Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka
berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an)”.
Dan juga dijelaskan dalam Surah
Fātir Ayat 8 :
..فَلَا تَذْهَبْ
نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرٰتٍۗ ..
“Maka jangan engkau (Muhammad) biarkan dirimu binasa karena
kesedihan terhadap mereka..”
Hak kebebasan manusia dalam memilih
keyakninan merupakan sebuah anugerah yang diberikan Allah Swt. Hak inilah yang
menjadikan manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia
bisa menentukan takdirnya sendiri dengan memilih ingin memeluk agama yang benar
(agama islam) atau agama lainnya, apapun yang manusia pilih pasti akan di
mintai pertanggung jawaban nanti di akhirat.
Prinsip kebebasan dijelasakan dalam
Surah al-Kahfi Ayat 29 :
وَقُلِ
الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ
فَلْيَكْفُرْۚ …….
“Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia
beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”
Prinsip kebebasan merupakan pilar
utama bagi tatanan masyarakat yang dibangun atas nilai-nilai al-qur’an.Prinsip
ini telah dipakai oleh nabi Muhammad Saw dalam berdakwah dan mengajarkan islam.
Prinsip kebebasan beragama sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebenaran
satu agama. Kalau persoalannya adalah tentang kebenaran agama, Maka Al-Qur'an
dengan jelas menyatakan bahwa hanya agama Islam-lah yang Haq (Surah Āli
‘Imrān : 19 dan 85). Maka prinsip diatas bukan berarti Al-Qur'an mengakui
semua agama adalah benar, akan tetapi intinya manusia harus beragama dengan
penuh kerelaan tanpa paksaan sedikitpun, sebab suatu yang manusia putuskan
sekarang akan di pertanggung jawabkan nantinya.
Prinsif ini pernah dipraktikkan oleh
Rasulullah Saw, ketika di kota Medinah. Bukti ini dapat kita lihat di Piagam
Medinah. Pada salah satu pasal tepatnya pasal 25 dalam piagam madinah dikatakan
bahwa, “Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama orang-orang mukmin,
bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Muslim agama mereka,
termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang-orang yang berlaku zalim
dan berbuat dosa atau khianat, karena sesungguhnya orang yang demikian hanya
akan mencelakakan diri dan keluarganya.”
Lebih rincinya lagi piagam
perjanjian tersebut juga memuat dengan kelompok-kelompok Yahudi lain seperti
Yahudi Bani al-Najjar (pasal 26), Yahudi Bani al-Haris (pasal 27), Yahudi Bani
Sa'idah (Pasal 28), Yahudi Bani Jusyam (pasal 29), Yahudi Aus (pasal 30). Dari
kutipan tersebut tergambar jelas bahwa Nabi Muhammad Saw, sebagai kepala negara
di Medinah tidak pernah memaksa orang agar memeluk Islam. Dengan kata lain Nabi
Saw telah memberikan jaminan kebebasan beragama kepada setiap orang. Dari
sinilah dapat kita tangkap pesan utamanya bahwa setiap orang atau pemerintah
wajib menghormati hak orang lain dalam menentukan pilihan keyakinannya.
B.
Penghormatan Islam Terhadap Agama-agama Lain
Untuk menjelaskan tentang
penghormatan Islam terhadap agama lain dapat dimulai dari melihat beberapa teks
ayat yang menjelaskan tentang masalah tersebut. Diantara ayat-ayat tersebut
adalah Surat al-Hajj/22: 40.
ۨالَّذِيْنَ
اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا
اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ
صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ
كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ
عَزِيْزٌ ٤٠
(yaitu) orang-orang yang telah
diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena
mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,(al-Hajj/22: 40)
Ungkapan diatas berkaitan dengan
tema ini adalah, “Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan manusia yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-mesjid, yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah.” Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa, seandainya
manusia tidak tidak ada pembelaan terhadap tempat-tempat ibadah kaum Muslimin, maka kaum musyrikin
akan melakukan tindakan agresi terhadap wilayah-wilayah tetangga
mereka yang boleh jadi penduduknya menganut agama selain agama Islam. Agama
selain Islam tersebut bertentangan dengan kepercayaan kaum musyrikin, akan
dirobohkan pula biara-biara, gereja-gereja, dan sinagong-sinagong, serta
mesjid-mesjid.upaya kaum musyrikin untuk menghapuskan ajaran tauhid dan ajaran-ajaran
yang bertentangan dengan ideologi kemusyrikan.
Pendapat diatas jelas memosisikan bahwa agama-agama selain Islam juga
harus mendapatkan penghormatan yamg sama dari komunitas kaum Muslim. Seperti tempat-tempat ibadah, serta beberapa simbol agama yang mereka sakralkan juga harus
mendapatkan penghormatan. Ayat tersebut menegaskan bahwa toleransi beragama
akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat yang saling menghormati khususnya terhadap
keyakinan agama masing-masing. Dari sinilah al-Qur’an melarang keras umat Islam
untuk melakukan penghinaan terhadap keyakinan dan simbol-simbol kesucian agama
lain. Hal ini dinyatakan dalam Surat al-An’am/6: 108.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ
فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ
اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى
رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٠٨
“Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan" (QS. al-An'am: 108)
Salah satu riwayat sebab turun ayat
ini adalah tatkala Nabi SAW tinggal di Mekkah, orang-orang musyrikin dan mukmin
mengatakan bahwa Nabi SAW sering mengejek berhala-berhala tuhan mereka.
Mendengar hal ini mereka secara emosional mengejek Allah SWT. Kemudian mereka
mengultimatum Nabi SAW dan orang-orang mukmin, mereka berkata, “Wahai
Muhammad hanya ada dua pilihan, kamu tetap mencerca Tuhanmu?” Kemudian
turunlah ayat diatas.
Kata tasubbu dalam ayat
diatas, terambil dari kata sabba yaitu ucapan yang mengandung makna
penghinaan terhadap sesuatu, atau penisbahan suatu kekurangan atau aib
terhadapnya, baik hal itu benar demikian lebih-lebih jika tidak benar. Hal ini
bukan berarti mempersamakan semua agama. Ayat diatas bukan seperti
mempermasalahkan suatu pendapat atau perbuatan, juga tidak termasuk penilaian
sesat terhadap satu agama, bila penilaian itu bersumber dari agama lain yang dilarang
adalah menghina tuhan-tuhan orang lain tersebut. Larangan ayat ini bukan kepada
hakikat tuhan mereka, namun kepada penghinaan, karena penghinaan tidak
menghasilkan sesuatu kemaslahatan agama. Agama Islam pun datang untuk
membuktikan kebenaran.
Ayat ini pun mengajarkan kaum
Muslimin untuk dapat memelihara kesucian agamanya untuk menciptakan rasa aman
serta hubungan harmonis antar umat beragama. Karena muanusia mudah terpancing
emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Hal ini merupakan tabiat manusia,
apapun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuan, karena agama bersemi di dalam
hati penganutnya, Sedangkan hati merupakan sumber emosi. Berbeda dengan
pengetahuan, yang mengandalkan akal dan pikiran. Karena dengan mudah seseorang
dapat mengubah pendapat ilmiahnya, tetapi sulit mengubah kepercayaannya
walaupun bukti-bukti kekeliruan kepercayaan telah ada dihadapnnya.
Sebagaimana penjelasan diatas,
al-Qur’an mendorong kaum Muslimin untuk bekerja sama dengan pemeluk agama lain.
dalam kaitan ini al-Qur’an memberikan petunjuk sebagaimana dipaparkan dalam
surah al-Mumtahannah/60: 8-9.
لَا
يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ
يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ
الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ
وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ
فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ٩
“Allah tidak melarang
kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi
mereka dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
adil. Allah hanya melarang kamu menyangkut orang-orang yang memerangi kamu
dalam agama dan mengusir kamu dari negeri kamu dan membantu dalam pengusiran
kamu—untuk menjadikan mereka teman-teman akrab, dan barang siapa menjadikan
mereka sebagai teman-teman akrab (tempat menyimpan rahasia), maka mereka
itulah—merekalah orang-orang zalim.”
(al-Mumtahannah/60: 8-9)
Ayat tersebut menunjukan bahwa Allah
SWT tidak melarang kaum Muslimin untuk bekerjasama dengan komunitas agama lain
sepanjang mereka tidak memusuhi, memerangi dan mengusir kaum Muslim dari negeri
mereka. Bahkan al-Quran pun menghalalkan
kaum Muslim untuk memakan sembelihan golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)
dan juga menikahi perempuan ahli kitab yang menjaga kehormatan hal ini
diisyaratkan dalam surat al-Maidah/5: 5.
اَلْيَوْمَ
اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ
لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ
وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ
اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا
مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ
ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ ٥
“Pada hari ini dihalalkan bagimu
segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan
makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang
beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan
piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka,
dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (al-Maidah: 5)
Atas dihalalkannya makanan dari
hasil sembelihan ahli kitab dan juga perempuan-perempuan terhormat juga halal
dinikahi oleh lelaki Muslim tentulah mengandung hikmah yang sangat dalam.
Makanan dan pernikahan adalah dua hal yang amat pribadi dan seperti yang
dituturkan oleh Sayyid Qutub bahwa Islam tidak cukup hanya memberikan kebebasan
beragama kepada mereka, kemudian mengucilkan mereka, sehingga mereka eksklusif
atau bahkan tertindas di dalam masyarakat yang mayoritas Islam, tetapi juga
memberikan suasana partisipasi sosial, perlakuan baik dan pergaulan mereka.
Maka makanan mereka menjadi halal bagi bagi kaum Muslimin juga halal bgai
mereka. Hal ini dimaksudkan agar terjadi saling mengunjungi, bertemu, menjamu
makanan, dan minuman dan agar semua anggota masyarakat berada di bawah naungan
kasih sayang dan toleransi.
Demikian juga
dengan dihalalkan bagi kaum Muslim untuk menikahi perempuan-perempuan ahli
kitab yang menjaga kehormatannya merupakan sebuah tanda bahwa Islam sangat
menghormati keyakinan mereka. Doktrin ini bias jadi tidak ada dalam agama lain.
Bahkan penyebutannya yang digandengkan dengan perempuan-perempuan mukminat yang
terhormat semakin menampakkan bahwa Islam sangat toleran terhadap agama lain.
Dari penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an sangat menghormati perbedaan dan
menghargai prinsip-prinsip kemajemukan yang merupakan realitas yang dikehendaki
oleh Allah subhanahu wa taala. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an
Surah al-Hujurat/49: 13,
يٰٓاَيُّهَا
النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا
وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ
ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat/49: 13).
Prinsip kemajemukan
ini juga dapat ditemukan dalam firman Allah yang lain,
yaitu pada Surah ar-Rum/30: 22, yang menyatakan bahwa perbedaan bahasa dan
warna kulit manusia harus diterima sebagai kenyataan yang positif, karena hal
ini merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ
وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ
لِّلْعٰلِمِيْنَ ٢٢
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. ar-Rum/30: 22).
Perbedaan tersebut tidak harus diperselisihkan sehingga ditakuti,
melainkan dijadikan titik tolak untuk berkompetisi menuju kebaikan, Surah
al-Maidah/5: 48 menegaskan hal tersebut.
Menyikapi fakta pluralitas social tersebut al-Qur’an menganjurkan agar
umat Islam mengajak umat yang lain (Yahudi dan Nasrani) untuk mencari suatu
pandangan yang sama (kalimatun sawa’), hal ini ditegaskan dalam Surah
Ali Imran/3: 64,
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ
سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ
بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ
اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ ٦٤
Katakanlah:
"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah".
Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa
kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
(QS. Ali Imran/3: 64).
Di antara bentuk pengakuan dan
pengohormatan Islam terhadap agama lain adalah disyariatkannya masalah jizyah.
Hal ini ditegaskan dalam Surah at-Taubah/9: 29. Pengakuan dan penghoramatan
keapada agama lain bukanlah mengakui kebenaran ajarannya. Dalam sejarah
disebutkan tokoh seperti Kaisar Hiraqlius dari Byzantium dan al-Muqauqis dari Mesir
yang mengakui eksistensi kerasulan Muhammad tanpa memeluk Islam.
Toleransi
yang ingin dibangun Islam adalah toleransi tanpa mencampuradukkan akidah.
Persoalan akidah merupakan suesuatu yang paling mendasar dalam setiap agama
sehingga bukan menjadi wilayah untuk bertoleransi. Sebagaimana ditegaskan dalam
Surah al-Kafirun/109: 1-6,
قُلْ يٰٓاَيُّهَا
الْكٰفِرُوْنَۙ ١ لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ ٢ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ
مَآ اَعْبُدُۚ ٣ وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ ٤ وَلَآ اَنْتُمْ
عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ ٥ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ ٦
“Katakanlah: “Hai
orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.(2)
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
(3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.(5) Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku”.(6)
Sebab turun ayat ini menurut sebagian
ulama adalah berkaitan dengan peristiwa ketika beberapa tokoh musyrikin di
Mekah, seperti al-Walid bin al-Mugirah, Aswad bin ‘Abdul Mutalib, Umayyah bin
Khalaf menwarkan kompromi kepada Rasul untuk tuntutan agama. Usul mereka adalah
agar Rasul Bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka, dan mereka pun akan
mengikuti ajaran Islam. Kemudian turunlah surah di atas yang mengukuhkan sikap
Nabi Muhammad Saw.
Usul kaum musyrikin ditolak oleh Rasul
karena tidak mungkin dan tidak logis pula terjadi penyatuab agama-agama. Setiap
agama memiliki ajaran pokok dan perincian yang berbeda. Oleh karena itu, tidak
mungkin perbedaan tersebut digabungkan dalam jiwa seseorang yang tulus terhadap
agama dan keyakinannya. Kerukunan hidup antar-pemeluk agama yang berbeda dalam
masyarakat yang plural harus diperjuangkan tanpa mengorbankan akidah.
Sumber buku : hubungan antar umat beragama
Post a Comment for "Toleransi Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain - Prinsip Kebebasan Beragama"
please use good language, if there is an active link in the comment will be deleted.